Tabung Gas vs. Pipa Gas

Peristiwa ledakan tabung gas belakangan ini semakin kerap terjadi. Selama satu bulan, sejak awal Juli hingga awal Agustus 2010 saja, sebuah stasiun TV mencatat hampir 60 kali peristiwa ledakan tabung gas dan kebakaran telah terjadi di berbagai tempat. Ini artinya rata-rata terjadi dua kali ledakan setiap hari. Korban berragam; luka bakar, tewas, hingga kerugian material, minimum rusaknya tabung gas, selang atau regulator.

Pemerintah dengan berbagai perangkatnya termasuk Pertamina telah melakukan kajian dan sosialisasi kepada masyarakat. Dari memberikan penjelasan bagaimana mengecheck kebocoran, memasang regulator dan selang, hingga menarik tabung yang telah rusak (bocor, aus, tabung palsu, dll) serta mengganti regulator dan selang dengan jenis berstandar SNI. Meski usaha ini telah gencar, tetapi berita TV masih juga memperlihatkan terjadinya peristiwa ledakan justru pada selang dan regulator berlogo SNI. Ironisnya pernah terjadi pula ledakan tabung gas saat dilakukan sosialisasi. Apa yang salah?

Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengalihkan bahan bakar dari minyak tanah ke gas sebenarnya tidak keliru. Sebelum adanya kebijakan itu, penyelewengan minyak tanah yang tidak mencapai sasaran telah merugikan rakyat dan pemerintah, misalnya dengan adanya aksi penyelundupan akibat disparitas harga minyak tanah yang disubsidi. Tetapi menurut hemat penulis kebijakan pengalihan ini tidak atau belum didukung oleh infrastruktur yang tepat. Penggunaan tabung gas sebagai sarana pendistribusian BBG sebenarnya merupakan cara yang rawan kecelakaan dan penyelewengan.

Secara teknis penggunaan tabung gas membahayakan. Meski tabung telah dibuat dengan kekuatan tiga kali tekanan gas di dalamnya, tetapi katup (pentil) saluran keluarnya gas merupakan bagian yang rawan aus, baik karena pemakaian maupun aksi pencurian dengan cara penyuntikan atau pengoplosan. Bagian ini tak kalah rawan gagal karena merupakan bagian yang menahan tekanan besar. Karena itu meski telah dilakukan penggantian selang dan regulator berstandar SNI, tetapi keausan katup (pentil) luput dari perhatian dan tidak dilakukan penggantian, sehingga tetap terjadi peristiwa ledakan. Masalahnya memang tidak mudah mengganti saluran pentil/katup, yang bukan cuma disebabkan kerusakan karet seal (penyekat), kecuali menarik tabung gas untuk diganti yang baru.

Salah satu solusi pemecahan adalah penggunaan teknik distribusi gas dengan pipa. Meski bermacam solusi pemecahan masalah ledakan tabung gas telah diusulkan dan diimplementasikan termasuk penggantian selang dan regulator, tetapi belum ada wacana penggantian distribusi dengan menggunakan pipa, padahal tak sedikit bagian kota di Indonesia telah menggunakan cara ini misalnya di kompleks apartemen dan rumah-rumah susun di Jakarta.

Secara teknis distribusi gas menggunakan pipa lebih aman, karena tekanan gas di dalam pipa tidak sebesar tekanan gas dalam tabung. Tekanan dikontrol regulator pada pusat distribusi yang diawasi ketat oleh perusahaan distributor gas. Pada titik pemanfaatan gas di rumah-rumah untuk memasak dll, tidak diperlukan lagi katup/pentil dan regulator, dapat langsung disambungkan ke kompor. Teknik distribusi gas dengan pemipaan ini juga umum digunakan di negara dan bagian dunia lain selain Indonesia. Tidak banyak terjadi peristiwa ledakan gas pipa, baik di negara lain maupun di Indonesia sendiri. Namun memang perlu adanya kajian mendalam masalah perbandingan keamanan kedua sistem ini.

Secara keekonomian dapat diperbandingkan antara sistem distribusi gas melalui pipa dengan sistem tabung gas. Jika satu unit tabung gas lengkap dengan regulator dan selang untuk satu rumah tangga setara dengan pipa sepanjang 4-5 meter dengan diameter 0,5 inchi, maka distribusi cara pipa tidak berbeda jauh secara ekonomi dengan cara tabung gas. Biaya lain dalam sistem pipa adalah pemasangan pipa-pipa saluran utama dari pusat distribusi ke titik cabang masuk masing-masing rumah tangga. Namun biaya ini diperkirakan sebanding dengan biaya transport tabung gas untuk sekian tahun usia teknis pipa. Meski hitung-hitungan ini belum detail namun layak dikaji sebagai alternatif solusi penggantian sistem distribusi gas dari tabung ke pipa. Jika PDAM mampu mengelola pipa-pipa air minum selama bertahun-tahun, mengapa distribusi gas tidak meniru cara PDAM? Tanggap darurat tampaknya perlu secepatnya dilakukan sebelum lebih banyak korban ledakan gas berjatuhan.

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Ibu Kota Negara Pindah ?

Jakarta semakin macet, sumpeg, banjir, polusif, dan segudang masalah lain. Warganya gerah, apalagi mereka yang biasa pergi/pulang bekerja dengan naik kendaraan. Jam-jam pergi dan pulang kantor adalah saat-saat paling menyiksa. Jalanan macet tak berujung kapan terurai, tak tentu jam berapa tiba di rumah. Akibatnya tak sedikit orang menjadi stress, kelelahan, dan ujungnya bisa berdampak pada munculnya bermacam penyakit fisik seperti tekanan darah tinggi, dll. Berbagai kebijakan, peraturan dan pembatasan dari sekian kali pergantian gubernur tak kunjung memberikan hasil signifikan.

Muncul wacana pindah ibu kota. Tentu ada yang pro dan kontra. Yang pro memberi contoh Malaysia. Dengan biaya setara Rp.57 trilliun, pusat-pusat pemerintahan dipindah secara bertahap ke Putrajaya. Tak perlu puluhan tahun, ibu kota baru dengan gedung-gedung perkantoran pemerintahan, perumahan pegawai pemerintah dan bermacam sarana telah megah berdiri. Bandingkan dengan hitung-hitungan kerugian akibat macet kota Jakarta. Sebuah penelitian oleh tim pakar lingkungan, menemukan angka akibat kemacetan kerugian mencapai Rp.28 trilliun/tahun. Ini berarti kerugian selama dua tahun dapat digunakan untuk membangun ibu kota baru. Jakarta diperkirakan macet total pada 2014-2015 jika pertumbuhan kendaraan dan jalan tak berimbang.

Salah satu pemikiran memindah ibu kota adalah ke kota Palangkaraya. Tetapi ke kota atau daerah baru manapun, diperlukan studi dan perencanaan mendalam. Salah satu pertimbangan adalah dari sudut pandang geologi. Utamanya adalah mengkaji bagaimana kondisi geologi regional maupun lokal calon lokasi. Pertimbangan yang penting antara lain adalah apakah lokasi tersebut rawan bencana misalnya gempa bumi, aktifitas kegunung-apian, tanah longsor, potensi banjir, dll. Mari kita lihat contoh kajian tersebut jika Palangkaraya dicalonkan menjadi lokasi calon ibu kota negara.

Dari kacamata geologi regional, pemilihan Palangkaraya memiliki sisi positif. Tinjauan tektonik geologi memperlihatkan wilayah Kalimantan secara umum relatif lebih stabil dibanding Jawa. Gambar 1 dan 2 di bawah tulisan ini memperlihatkan peta fisiografi dan profil geologi regional antara Jawa-Kalimantan. Dari sudut pandang teori tektonik lempeng, sekurangnya ada dua masalah. Jawa berada lebih dekat pada sambungan dua lempeng (yakni lempeng kontinen Eurasia dan lempeng samudra Indonesia atau Indian Ocean Plate). Karena itu dua ancaman bencana yang sering terjadi di Jawa adalah bencana gempa bumi (tektonik) dan bencana akibat aktifitas gunung berapi (Gambar 2). Lebih lanjut gempa bumi dapat memicu tsunami dan tanah longsor. Sementara itu Kalimantan relatif lebih terlindung dari dampak tsunami jika gejolak deformasi lapisan batuan di bumi terjadi di lautan Indonesia (y.i. dekat ke epicenter gempa bumi). Dari kacamata geologi (regional) jelas bahwa Kalimantan lebih baik kondisinya dibanding Jawa.

Bagaimana dengan kondisi geologi lokal? Kalimantan, tak terkecuali sekitar Palangkaraya, memiliki banyak lahan bergambut. Karena itu tantangan paling besar adalah bagaimana membangun insfrastruktur yang mampu bertahan di lahan gambut. Megaproyek “Lahan Gambut Sejuta Hektar” memberikan pelajaran penting, bagaimana tanah gambut berperilaku dan bagaimana cara mengatasinya. Itu belum seberapa, karena proyek tersebut utamanya hanya membangun saluran-saluran (kanal) pengairan. Jika sebuah kota harus membangun gedung tinggi, jembatan, jalan raya, jalan kereta (termasuk subway), dll di lahan gambut, tentu biaya tidak murah. Sebuah ibu kota negara tentu tak bisa terisolir, karena itu harus dibangun pula dermaga, bandara, jalan-jalan antar kota/proponsi misalnya ke Banjarmasin, Pontianak, dll. Ini sebuah pekerjaan tidak mudah dan tidak murah. Jalan trans Kalimantan yang menghubungkan Banjarmasin-Palangkaraya saja sering bermasalah, terrendam jika banjir atau air pasang (rob).

Penulis pernah melakukan survei gambut di pemukiman transmigrasi Pangkoh di lembah sungai Kahayan. Ditemukan gambut dengan ketebalan 10 meter bahkan lebih. Di bawah gambut terdapat lapisan lempung yang punya sifat mengembang jika kena air (swelling) dan menyusut ketika kering. Tantangannya adalah bagaimana membangun pondasi pada kondisi tanah seperti ini. Tiang-tiang pancang harus ditancapkan dalam-dalam bila perlu hingga batuan dasar, jalan-jalan, lantai bangunan dan bemacam sarana prasarana seyogyanya tak boleh menyentuh tanah yang sering basah dan terrendam banjir atau air pasang surut (rob). Sudah barang tentu bangunan-bangunan seperti ini membutuhkan biaya besar.

Kajian-kajian seperti itulah yang perlu dilakukan kemanapun ibu kota negara berada jika diputuskan akan dipindahkan. Costly? Yes … of course. Tapi masih tetap bisa dilakukan perhitungan dan perbandingan dengan matang jika ibu kota negara tetap berada di Jakarta atau diputuskan pindah.

 

Dipublikasi di Geologi-Tektonik | Tag , , | Meninggalkan komentar

Babak Baru Semburan Lumpur Sidoarjo

Bencana di dunia perminyakan yang terjadi setidaknya di tiga tempat bagian dunia yakni perairan Amerika Serikat, China, dan Selat Timor, belakangan ini telah menyita perhatian publik khususnya dunia perminyakan. Ketegasan Presiden Barack Obama menyebabkan BP (British Petroleum) tak setengah-setengah menanggulangi masalah bencana tumpahan dan semburan liar (blow-out) lepas pantai. Sehingga dalam tempo tiga bulan masalah telah mampu diatasi. Demikian pula pemerintah China yang segera tanggap menunjukkan kepedulian atas bencana tumpahan minyak di perairan negara itu. Yang terakhir adalah juga bencana tumpahan minyak di selat Timor. Pemerintah Australia juga segera bertindak cepat mengatasi peristiwa tersebut. Tampak nyata dalam ketiga peristiwa itu betapa pemerintah dan industri secara bersama-sama bertanggung-jawab, menunjukkan rasa bersalah yang dalam, sekaligus tindakan tanggap darurat yang cepat sehingga masalah yang dihadapi terpecahkan tanpa menyita lebih banyak korban.
Lantas bagaimana kalau kita bandingkan dengan bencana semburan lumpur di Sidoarjo? Sejak tahun 2006, artinya setelah empat tahun berselang, bencana belum juga memperlihatkan tanda-tanda dapat teratasi, justru semakin parah. Kini bukan lagi lumpur, tetapi air dan gas juga semakin banyak tersemburkan sementara amblesan tanah semakin mengkhawatirkan. Bila tindakan secara serius dan massive telah dilakukan sejak awal barangkali masalah ini sudah teratasi. Wawancara sebuah stasiun TV dengan pakar perminyakan Indonesia terungkap bahwa pakar Indonesia sendiri diperkirakan mampu mengatasi masalah ini jika pemerintah dan industri tak setengah-setengah sejak awal.
Hasil penelitian dan studi penulis memperlihatkan bahwa masalah semburan lumpur Sidoarjo sebenarnya telah berkembang menjadi lebih kompleks. Bukan saja aspek reservoir migas di bawah sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) yang bermasalah, namun kini tak tertutup kemungkinan reservoir lapangan gas Wunut di sebelah baratnya, lapisan pembawa air tanah (aquifer), serta aspek kepanas-bumian dari fenomena kegunung-apian (Arjuna, Welirang dan Anjasmara) di selatannya telah berkontribusi dalam kompleksitas permasalahan yang telah terjadi. Karena itu diperlukan pemahaman kondisi geologi bawah permukaan dan reservoir di sekitar lokasi semburan lumpur untuk dapat melakukan mitigasi dan antisipasi tindakan penanganan.
Sesuai dengan hasil pengukuran lapangan, analisa sampel di lab, serta data dari berbagai sumber, diketahui bahwa sumber gas dari lapangan Wunut di arah barat laut pusat semburan telah ikut menyembur ke permukaan. Sumber gas itu pula diperkirakan telah meningkatkan tekanan lapisan air tanah, sehingga menyebabkan terjadi semburan air (dingin) melalui sumur-sumur pantek penduduk serta rekahan-rekahan akibat proses amblesan (subsidence). Meskipun sumur BJP-1 dibuat untuk eksplorasi minyak dan gas bumi, berdasarkan analisa isotop air di sekitar semburan lumpur memberikan indikasi bahwa sebagian air yang menyembur dari pusat semburan berasal dari aktifitas magmatik (volkanisme) yang diperkirakan berhubungan dengan kompleks gunung-gunung api Arjuna, Welirang dan Anjasmara. Berdasarkan data dan pengukuran yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa reservoir di bawah sumur BJP-1 merupakan reservoir kombinasi minyak dan panasbumi. Lapisan-lapisan sedimen mengandung hidrokarbon telah mengalami pemanasan oleh tubuh batuan beku atau lava yang berada di bawahnya (Gambar 1).
Meski kondisi geologi telah semakin kompleks seperti diuraikan di atas, masih terbuka kesempatan untuk dapat mengatasi masalah. Dalam dunia perminyakan dikenal teknologi pemboran berarah dan horizontal (Directional and Horizontal Drilling). Dengan teknologi ini memungkinkan masalah masih dapat diatasi. Kini tinggal komitmen pemerintah dan pihak-pihak yang bertanggung-jawab bagaimana bisa bertindak lebih cepat, serius dan tidak setengah-setengah. Pengorbanan biaya pasti diperlukan, tetapi itulah harga yang harus dibayar oleh pihak yang berani membuka usaha serta melakukan tindakan penuh resiko. Rakyat, terutama yang hidup di sekitar wilayah bencana, telah berlarut-larut hidup dalam penderitaan dan ketidak-pastian. Dengarkan jeritan dan tangisan mereka serta segera entaskan dari kubangan lumpur nestapa, sebelum bencana lebih besar menimpa negeri ini !
Dipublikasi di Migas, Uncategorized | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Perkenalan

Nama saya Untung Sumotarto, bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, juga mengajar di Universitas Trisakti Jakarta (FTKE – Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Jurusan T.Geologi dan T.Perminyakan). Pernah pula diminta mengajar di UGM (Yogyakarta) pada Program Pasca Sarjana “Petroleum Geoscience“, serta di Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru. Selain itu saya juga bekerja “free lance” untuk menambah wawasan. Menempuh pendidikan di Jurusan T.Geologi, FT, UGM (S1) dan di Department of Petroleum and Geosystem Engineering, University of Texas at Austin, USA (S2 dan S3).

Berminat menulis di Blog dengan topik-topik Sumber Daya Alam khususnya non-hayati, baik yang dapat diperbaharui (renewable), maupun yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Di dalamnya termasuk kajian-kajian tentang sumber daya energi, mineral, air, dll.

Sesuai dengan latar belakang pendidikan, kendaraan atau “tools” yang akan saya gunakan adalah ilmu-ilmu geologi, perminyakan dan pertambangan. Namun tergantung bahasan, bisa saja lebih fleksibel, bersifat “general interests“, tak perlu ketat dengan alat apa. Membedah tak harus menggunakan pisau bedah, tapi bisa pula menggunakan pisau lipat, silet, cutter, bahkan sayatan kulit bambu bisa juga digunakan untuk memotong.

Dipublikasi di Umum | Tag , | 1 Komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar